Surabaya –Metrowilis.com, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kajati Jatim), Prof. (HCUA) Dr. Mia Amiati, S.H., M.H., CMA., CSSL., memimpin Ekspose Mandiri terkait 11 perkara yang diusulkan untuk dihentikan penuntutannya berdasarkan prinsip Keadilan Restoratif. Kegiatan ini berlangsung secara virtual pada Kamis, 6 Februari 2025, dan dihadiri oleh jajaran Kejati Jatim, termasuk Aspidum, para koordinator, para Kasi di Bidang Pidum, serta para Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dari berbagai daerah di Jawa Timur.
Dalam ekspose ini, sebelas perkara yang berasal dari berbagai Kejari diusulkan untuk dihentikan penuntutannya. Perkara-perkara tersebut terdiri dari tindak pidana penganiayaan, pencurian, penadahan, penyalahgunaan narkotika, serta kecelakaan lalu lintas.
Rincian Perkara yang Dihentikan
Perkara yang diajukan untuk penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif ini dibagi ke dalam beberapa kategori sebagai berikut:
Seksi A (5 Perkara)
- Satu perkara penganiayaan (Pasal 351 ayat 2 KUHP) dari Kejari Banyuwangi.
- Dua perkara penganiayaan (Pasal 351 ayat 1 KUHP) dari Kejari Kabupaten Blitar dan Kejari Kabupaten Probolinggo.
- Satu perkara penadahan (Pasal 480 ke-1 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP) dari Kejari Surabaya.
- Satu perkara pencurian (Pasal 362 KUHP) dari Kejari Bangkalan.
Seksi B (2 Perkara)
- Satu perkara penyalahgunaan narkotika (Pasal 112 Ayat 1 atau Pasal 127 Ayat 1 huruf a UU No. 35 Tahun 2009) dari Kejari Kota Malang.
- Satu perkara penyalahgunaan narkotika (Pasal 114 Ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009, subsidair Pasal 112 Ayat 1, lebih subsidair Pasal 127 Ayat 1 huruf a UU No. 35 Tahun 2009) dari Kejari Sampang.
Seksi E (4 Perkara)
Empat perkara kecelakaan lalu lintas (Pasal 310 Ayat 4 atau Pasal 310 Ayat 3 atau Pasal 310 Ayat 2 UU No. 22 Tahun 2009) dari Kejari Surabaya, Kejari Kota Malang, Kejari Tuban, dan Kejari Kabupaten Blitar.
Keadilan Restoratif: Bukan Impunitas, tetapi Pendekatan Kemanusiaan
Kajati Jatim Mia Amiati menegaskan bahwa penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif merupakan wujud komitmen negara dalam menegakkan hukum dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
“Keadilan Restoratif memberikan kesempatan bagi pelaku dan korban untuk mencapai kesepakatan damai, dengan fokus pada pemulihan kerugian korban dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat,” ujar Mia Amiati.
Namun, ia juga menekankan bahwa prinsip ini bukan bentuk impunitas bagi pelaku kejahatan. Terdapat beberapa persyaratan ketat agar suatu perkara dapat dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif, antara lain:
- Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
- Ancaman hukuman tidak lebih dari 5 tahun penjara.
- Adanya kesepakatan damai antara korban dan tersangka.
- Pemulihan hak-hak korban serta adanya respon positif dari masyarakat.
Khusus untuk kasus penyalahgunaan narkotika, Mia Amiati menegaskan bahwa tersangka harus merupakan pengguna untuk diri sendiri (end-user), bukan produsen, bandar, pengedar, atau kurir narkotika.
“Dengan demikian, Keadilan Restoratif menjadi instrumen penting dalam menciptakan sistem peradilan yang lebih adil dan berorientasi pada pemulihan, bukan hanya sekadar penghukuman,” pungkasnya.
Dengan adanya langkah ini, diharapkan sistem hukum di Indonesia semakin mengedepankan pendekatan yang lebih berkeadilan dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.(hum/AZ)
COMMENTS